1. Imam Syafii : Bid'ah terbagi menjadi 2
bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat
tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam
ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik
(hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka
sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela" (Riwayat
Imam Baihaqi didalam Manaqib Asy Syafii Juz 1 Halaman 469, Ibnu Hajar
Al Asqalaniy dalam Fath al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari 13/253, Sayyid
Al-Bakri Abu Bakar bin Muhammad Syatha' Addimyatiy didalam I’anah
At-Thalibin Ibn `Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97.
Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, 8/408, Ibnu Rajab dalam
“Jami` al-`Ulum wal-Hikam, 2/52-53, ).
2. Imam Ibnu Abdilbarr
:Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka
itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
3. Imam Nawawi : "Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.” (Tahdzibul 'Asma wal Lughot 3/20-22)
Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”. (Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat 3/22),
4. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani : "Apabila bid’ah itu masuk dalam
naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah
hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut
syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk
dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah
itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fathul Bari bi Syarah Shahihul
Bukhari, 4/253).
5. Imam Ibnu Al Arabi : Ketahuilah bahwa
Bid‘ah itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan
yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka
hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan
namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan
oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut
bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak
dihukumi bid’ah hanya karena ia baru. (Aridhat Al-Ahwadzi Syarah Jami’
Attirmidziy 10/146-147)
6. Imam Ghazali : "Banyak sekali bid'ah
yang terpuji, seperti shalat Tarawih secara berjama’ah, ia adalah
“Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai
Bid‘ah Hasanah. Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala
hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa
merubah Sunnah itu. (Ihya Ulumuddin 1/276)
7. Imam Al Aini :
Bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang
dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila
masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka
disebut bid’ah tercela.” (Umdatulqoriy Syarah al-Bukhari, Maktabah
Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155 ).
8. Imam Ibnu Hazm : "Bid‘ah
dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan
didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang
sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari
Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua
amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara
umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara
khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak
dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.
(Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Usulul Ahkam 1/47)
10. Imam Izzuddin Abdissalam : "Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah
wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah
mubahah". (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
11.
Imam Ibnu Atsir : “Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk
agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah
Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah
yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah
dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang
belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat
kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal
tersebut menyalahi syara’.”
(Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar)
12. Imam Al-Shan’ani. : Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian.” (Subulussalam 2/48).
13. Imam Suyuthi. Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna
“Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya) (Syarah
Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
14. Syaikh Sajuddin Ibnul Mulaqqan
“Bid’ah yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa
(terpetunjuk/benar). (At Tauzhih li Syarh Al Jami’i As Shahih, Al
Wazarah Al Auqaf wa Syu-un AlIslamiyah, Qathar, Juz. 8 Hal. 554)
15. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy "Adapun Bid'ah yang didukung oleh dalil
syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan
amalannya diterima" (Fathul Mubin, Al-‘Amirah As Syarfiah, Mesir, Hal.
94)
16. Imam Al Munawi : "Adapun yang ada azhidnya yakni
didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan
amalannya diterima .” (Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz.
VI, Hal. 47, No. Hadits 8333)
17. Imam Syaukani : "maka bila ia
membawa dalil (aqlan wa syar’an) tentang Bid’ah hasanah maka terimalah”
(Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).
18. Imam Qurtubi : "Barang
siapa merintis suatu amalan di dalam islam dengan amalan yg baik,maka
baginya pahala dan pahala orang-orang yang melakukan sesudahnya, dan
barang siapa yang merintis suatu amalan didalam islam dgn amalan yg
jelek, maka baginya dosa dan dosa orang yang melakukan sesudahnya dengan
tidak mengurangi sedikit pun, ini adalah isyarat bahwa bidah itu ada
ADA YANG BURUK DAN ADA BID'AH HASANAH"(Tafsir Imam Qurtubi 2/86)
dan masih banyak lagi
wallahu a'lam