Astronomi Islam
Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani
dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi
berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa
keemasan Islam (8-15 M). Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis
dalam bahasa Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika
Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh
astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang
yang menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak,
Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Algol, Altair,
dan Betelgeus.
Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan
beberapa istilah dalam `ratu sains' itu yang hingga kini masih
digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit,
nadir, dan vega.
Kumpulan tulisan astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya mencapai 10 ribu manuskrip.
Ahli
sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam
ke dalam empat periode. Periode pertama (700-825 M) adalah masa
asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani, India dan Sassanid.
Periode
kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran dan penerimaan
serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga (1025-1450 M), masa
kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900 M), masa
stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Geliat
perkembangan astronomi di dunia Islam diawali dengan penerjemahan secara
besar-besaran karya-karya astronomi dari Yunani serta India ke dalam
bahasa Arab. Salah satu yang diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang
termasyhur, Almagest. Berpusat di Baghdad, budaya keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.
Sejumlah,
ahli astronomi Islam pun bermunculan, Nasiruddin At-Tusi berhasil
memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip
mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit.
Selain
itu, ahli matematika dan astronomi Al-Khawarizmi, banyak membuat
tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan baru,
terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi gerhana.
Ahli
astronomi lainnya, seperti Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan
Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia
membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara
lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang
sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46
menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit bulan dan
planet-planet. Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan
kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil
mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam
60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam
waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya
Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku "De Scienta Stelarum De Numeris
Stellarum" itu kini masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi
Eropa seperti Copernicus, Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin
mencapai sukses tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya "De
Revoltionibus Orbium Clestium" mengaku berutang budi pada Al-Battani.
Dunia astronomi juga tak bisa lepas dari bidang optik. Melalui bukunya, Mizan Al-Hikmah,
Al Haitham mengupas kerapatan atmosfer. Ia mengembangkan teori mengenai
hubungan antara kerapatan atmosfer dan ketinggiannya. Hasil
penelitiannya menyimpulkan ketinggian atmosfer akan homogen di
ketinggian lima puluh mil.
Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir
tentang bumi mengelilingi matahari telah menginspirasi Copernicus.
Akibatnya, Copernicus dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan.
Demikian juga Galileo, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi
dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia
menolak.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan
dunia lama yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi
Islam.
Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi
yang menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab selama abad ke-9. Proses ini dipertinggi dengan
toleransi terhadap sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak
bisa dipertahankan umat Islam.
Jejak Abadi di Kawah Bulan
Ilmuwan
Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dunia
astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di era
tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat.
Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya bagi pengembangan `ratu sains' itu:
Al-Battani (858-929)
Sejumlah karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling populer adalah Al-Zij Al-Sabi.
Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi
Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia.
Ia
berhasil menentukan perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang
matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan
planet-planet tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk
menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama
dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa.
As-Sufi (903-986 M)
Orang
Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman As-Sufi.
Seorang pakar tassawuf. Abdurrahman Assufi merupakan sarjana Islam yang
mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan
arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan
matahari.
Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Al-Biruni (973-1050 M)
Ahli
astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang astrologi
pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi berputar pada
porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah memperkirakan ukuran bumi
dan membetulkan arah kota Makkah secara saintifik dari berbagai arah di
dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35 diantaranya didedikasikan untuk
bidang astronomi.
Ibnu Yunus (1009 M)
Sebagai
bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan
pada sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di permukaan
bulan ada yang dinamakan Ibnu Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya
selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk memerhatikan benda-benda di
angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4
meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai
kedudukan matahari sepanjang tahun.
Al-Farghani
Nama
lengkapnya Abul Abbas Ahmad ibnu Muhammad ibnu Kathir Al-Farghani. Ia
merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat
dikagumi. Al-Farghani merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa
Khalifah Al-Ma'mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan
mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu.
Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis
Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali
diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas
sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Ia telah
menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang
menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya
Jabir Ibnu Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematika Islam
berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut memberi warna dan kontribusi
dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat
menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala
mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan
objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab Al-Hay'ah.
wallohu a'lam