Oleh : Hasan Husen Assagaf
Thaharah dalam bahasa artinya kesucian atau kebersihan dan dalam ilmu fiqih adalah mengangkat hadast dan menghilangkan najis.
Alat Thaharah
Alat thaharah ada 4 macam:
1. Air
2. Tanah
3. Batu
4. Penyamak
Tujuan Thaharah
Tujuan thaharah (kesucian) ada 4
1. Wudhu
2. Mandi
3. Tayammum
4. Menghilangkan najis
Pembagian Air
Air terbagi atas 5 bagian:
1. Air Bebas:
Air
bebas ialah air yang bebas dari segala macam ikatan dan campuran.
Hukumnya suci dan mensucikan, contohnya air hujan, air laut, air sungai,
air sumur, air mata air, air salju, air embun dll.
Allah berfirman: “dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (al-Furqan: 48)
Ketika
Rasulallah saw ditanya tentang air laut beliau bersabda “Ia suci dan
bangkainya halal” (HR at-Tirmidzi- hadist hasan shahih)
2. Air Terjemur
Air
terjemur ialah air yang disimpan di dalam bejana atau wadah terbuat
dari logam (bukan emas dan perak), terjemur di terik matahari di negeri
yang panas. Hukumnya suci dan mensucikan tapi makruh untuk dipakai
berwudu’ dan mandi semasih air itu panas, dan tidak makruh jika dipakai
untuk mencuci. Karena disangsikan bisa menimbulkan penyakit sopak atau
belang.
Rasulallah saw bersabda:“”Tinggalkan apa apa yang
meragukan kepada yang tidak meragukan (HR at-Tirmidzi – an-Nasai –
hadist hasan shahih)
Memakai air yang terjemur panas untuk
berwudhu’ dan mandi merupakan hal yang diragukan yaitu bisa menimbulkan
penyakit sopak. Begitu pula menggunakan air yang terlalu panas dan
terlalu dingin hukumnya makruh untuk berwudhu’ dan mandi karena tidak
bisa diresapkan ke anggota tubuh dan tidak bisa sempurna wudhu’ dan
mandi seseorang.
3. Air Bekas
Air bekas ialah air yang
sedikit bekas dipakai untuk berwudhu’ dan mandi atau bekas menghilangkan
kotoran. Air ini setelah digunakan tidak berobah bentuknya dan tidak
bertambah banyaknya. Hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Hukum ini
diterapkan karena belum pernah dilakukan oleh para shahabat Nabi saw
mengumpulkan air bekas dipakai wudhu’ atau mandi dalam perjalanan mereka
untuk digunakan kembali sedang mereka sangat membutuhkanya.
4. Air Berubah
Air
berubah ialah air yang berubah karena bercampur dangan sesuatu benda
yang suci sehingga berobah nama air itu, contohnya air teh, air kopi
dsb. Hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Adapun air yang berobah karena
bercampur dengan sedikit dari benda suci dan tidak merobah nama air
tersebut, maka hukumnya suci dan menyucikan, boleh digunakan untuk
berwudhu karena Nabi saw pernah berwudhu dengan air dari wadah yang
masih terdapat bekas serbuk tepung. Begitu pula air yang berubah
warnanya karena bercampur lumut, tanah merah, dan daun2an hukumnya suci
dan mensucikan karena kesulitan terhidarnya dari semua itu.
5. Air Najis
Air
najis ialah air yang kena najis. Jika air itu sedikit jumlahnya yaitu
kurang dari qullatain (dua Qullah) maka hukumnya menjadi najis tanpa
syarat, tapi jika air itu banyak yaitu lebih dari dua qullah maka
hukumnya tidak najis kecuali jika berubah warna, rasa dan baunya.
Rasulallah saw bersabda; “Jika air telah mencapai dua qullah, tidak membawa najis (HR Syafi’i dan at-Tirmidhi – hadist hasan).
Ada
beberpa najis yang dimaafkan yaitu najis yang tidak bisa dilihat oleh
mata, seperti asap dan uap yang keluar dari benda yang najis atau
menajiskan, sedikit dari bulu binatang yang najis dan debu dari pupuk
kotoran binatang. Semua najis ini dimaafkan karena kesulitan untuk
menghidarinya. Begitu pula dimaafkan bangkai binatang yang tidak
mengalir darahnya seperti lalat, nyamuk dsb.
Rasulallah saw
bersabda: “Jika jatuh seekor lalat pada minuman kalian maka celupkanlah
seluruhnya, karena di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada
sayap yang satunya terdapat penyembuhnya.” (HR Bukhari)
Keterangan (Ta’liq):
Air yang banyak (lebih dari dua Qullah) ialah air yang jumlahnya lebih
dari 216 liter. Air yang sedikit (kurang dari dua Qullah) ialah aIr yang
jumlahnya kurang dari 216 liter.
Niat: ialah bermaksud melakukan sesuatu sambil dilaksanakanya.
Hukum: ialah kewajiban yang berada di dalam pekerjaan seperti ruku’, sujud didalam shalat dll
Syarat: ialah kewajiban yang berada diluar pekerjaan seperti wudhu, tayammum untuk shalat dll.
Perubahan Air Yang Diperkirakan
Yaitu
air yang berobah karena kejatuhan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh
mata, maka hukumnya sensitif bisa diperkirakan dengan sifat air yang
bercampur dengan benda trb. Jika air itu kejatuhan sesuatu benda yang
sifat-sifatnya sesuai dengan air, maka diperkirakan dengan seringan
ringannya sifat, seperti rasa delima atau bau kuping atau warna jus.
Maka air ini dikatagorikan suci dan mensucikan, boleh digunakan untuk
berwudhu. Tapi jika air kejatuhan sesuatu benda yang diperkirakan najis
maka diperkirakan dengan seberat-beratnya sifat, seperti warna tinta,
bau minyak misik, atau rasa cuka (rasanya asam). Maka air tsb
dikatagorikan najis dan tidak boleh digunakan untuk berwudhu.
Hukum Bejana Emas dan Perak
Telah
diketahui bahwa seluruh bejana boleh kita gunakan baik itu untuk makan,
minum ataupun untuk selainnya, kecuali bejana yang terbuat dari emas
dan perak.
Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian minum dari
bejana emas dan perak dan jangan pula kalian makan dari piring-piring
emas dan perak. Sesungguhnya keduanya bagi mereka (orang kafir) di
dunia, dan bagi kalian di akhirat.” (HR Bukhari Muslim)
Hadits
ini secara jelas menegaskan larangan penggunaan bejana dari emas dan
perak untuk makan dan minum, meskipun jenis makanan dan minumannya
adalah halal, namun jika ditempatkan di wadah yang terbuat dari emas dan
perak, maka makanan dan minuman tersebut haram untuk dimakan dan
diminum. Apabila makanan dan minuman tersebut dipindah ke wadah lain
yang tidak terbuat dari emas ataupun perak, maka hukumnya berubah
kembali menjadi halal untuk dimakan dan diminum.
Berlainan dengan
pemasangan gigi palsu dengan mengunakan emas dan perak atau operasi
anggota tubuh dengan menggunakan logam mulia, ini dibolehkan dalam
agama. Hal ini karena kebutuhan manusia terhadap kesehatan.
Operasi
semacam ini dengan menggunakan bahan atau logam sudah dikenal di masa
Nabi saw, sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai
dengan isnad jayyid (baik) yang mengisahkan bahwa ‘Arfajah bin As’ad
pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung
(palsu) dari perak, namun hidung tersebut justru mulai membusuk, maka
Nabi saw menyuruhnya untuk memasang hidung palsu dari bahan emas.
Hukum Emas dan sutera
Emas
dalam bentuk apapun, dalam berbagai warna hukumnya adalah haram bagi
laki-laki. Meskipun seandainya emas itu dijadikan sepuhan untuk bahan
lain, maka hukumnya tetap haram. Sebab nama emas tetap saja terdapat
meski kadarnya berkurang.
Diriwayatkan Rasulallah saw pernah
mengambil sutera, lalu beliau letakkan di tangan kanannya dan mengambil
emas lalu beliau letakkan pada tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:
“Diharamkan sutera dan emas untuk dikenakan oleh kaum laki-laki dari
kalangan umatku dan halal bagi perempuannya.” (HR at-Tirmidzi, hadits
hasan)
Jika penggunaanya sedikit untuk keperluan hukumya tidak
haram (dibolehkan). Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari
Anas ra, sesungguhnya periuk Nabi saw pecah, lalu beliau mengambil
rantai perak (untuk menambal) tempat yang pecah itu. (HR Abu Dawud dan
at-Tirmidzi, hadits hasan)
Jika penggunaanya juga dari perak dan di antaranya itu lingkaran perak.” (HR Abu Daud dan Turmidzi, hadits hasan)
Jika
penggunaanya banyak untuk keperluan hukumnya makruh dan jika
penggunaanya banyak untuk perhiasan hukumya haram. Hal ini sesuai dengan
hadits, “sesungguhnya Ibnu Umar tidak mau minum dari bejana yang
lingkaran dan tambalannya dari perak” (HR Bukhari Muslim)
Namun
benda yang dicat dengan warna emas, tidak bisa dikatakan sebagai emas.
Sehingga tidak menjadi masalah bila seorang laki-laki menggunakan
pakaian atau perlengkapan imitasi emas. Hukumnya tidak haram, sebab
kenyataannya memang bukan emas, melainkan hanya rupa dan warnanya saja.
Yang haram adalah emas, bukan yang mirip emas.